Selasa, 26 April 2011

Kesehatan Reproduksi dan Kekerasan Terhadap Perempuan
by: mukhotibmd
Membincang persoalan kesehatan reproduksi, sesungguhnya sedang membincangkan persoalan ketidakadilan secara lebih luas. Ia menjadi kontroversial, karena kesehatan reproduksi tidaklah semata-mata berarti alat, fungsi dan sistem organ reproduksi, tetapi jauh lebih kompleks, karena mencakup soal pemaknaan sehat psikis dan sosial. Dalam konteks inilah, kesehatan reproduksi menjadi penting, karena merambah persoalan relasi kuasa, siapa menentukan siapa dan siapa menentukan apa. Manakala membincangkan soal alat kontrasepsi, maka perbincangannya tidak semata-mata untuk aman menjarangkan kelahiran, aman dari infeksi HIV/AIDS, tetapi juga berbicara siapa yang paling banyak menjadi obyek alat kontrasepsi. Begitupun ketika berbicara soal aborsi yang aman bagi perempuan, perbincangan yang berkembang akan menyangkut juga soal siapa yang berhak menentukan apa, dan sebagainya. Apalagi berbicara soal alat kontrasepsi bagi remaja, dan pendidikan kesehatan reproduksi bagi pelajar—yang ini biasanya sering diterjemahkan dengan ’pendidikan seks’—maka kontroversi bisa semakin menjad-jadi.
Ketidakseimbangan relasi kuasa ini yang kemudian menjadikan perempuan dalam posisi tidak diuntungkan. Keterbatasan terhadap akses dan kontrol atas sumber daya, menjadikan perempuan tidak memungkinkan menjadi penentu dalam persoalan-persoalan yang berkaitan erat dengan kepentingan dirinya sendiri, apalagi kepentingan publik yang lebih luas. Dalam situasi tertentu, pelanggaran kesehatan reproduksi, salah satu berbentuk kekerasan terhadap perempuan. Ketika coba ditelusuri lebih jauh, banyak fakta menunjukkan, kekerasan terhadap perempuan—terutama kekerasan seksual, baik paksaan maupun ketidakjujuran pasangannya, perempuan bisa terinfeksi HIV/AIDS.
Sayangnya, meski sudah amat jelas faktanya, negara belum dengan sungguh-sungguh memikirkan pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan. Kalau toh tersedia banyak program yang diperuntukkan perempuan, biasanya terkait juga dengan persoalan lain, seperti gerakan sayang ibu, sesungguhnya terkait erat dengan persoalan anak-anak. Karenanya, hampir tidak ada sebuah kebijakan pun yang tampak jelas disediakan untuk pemenuhan hak kesehatan reproduksi. Simak, misalnya, perdebatan amandemen UU Kesehatan, perdebatan berhenti manakala membincangkan soal aborsi aman bagi perempuan, karena lagi-lagi diduga sebagai sebuah keputusan yang akan melegalkan pembunuhan bayi-bayi.
Sedikit yang bisa dilakukan untuk memperjuangkan hak dan kesehatan reproduksi perempuan, manakala tidak dilakukan perbuahab pola pikir mengenai hak-hak perempuan secara keseluruhan. Dalam konteks inilah, sesungguhnya, kita mesti memosisikan gerakan pemenuhan hak dan kesehatan reproduksi sebagai bagian penting dalam arus besar gerakan hak-hak perempuan. Tanpa itu, persoalan kesehatan reproduksi hanya akan dipandang sebagai persoalan teknis-medis semata-mata.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar